Rekan seperjuangan yang saya cintai
Assalamu’alaikum Wr. Wb, salam sejahtera untuk semua.
Sebelumnya ada satu pertanyaan mendasar yang hendak saya sampaikan, kenapa setiap tanggal 15 Januari kita kembali berkumpul, bahkan setelah Soeharto tumbang dan telah digantikan oleh empat orang Presiden, termasuk seorang Presiden pilihan Rakyat yang telah kita cabut mandatnya pada 15 Januari tahun kemarin
Tentu saja rekan kita berkumpul bukan hendak bernostalgia. Apa lagi memutar kaset yang sudah kusut dan karatan. Tidak pula kita berkumpul dengan niat membesar-besarkan apa yang telah kita perbuat di masa lalu. Kalau kondisi bangsa ini sudah normal, tidak ada lagi kisah tragis satu keluarga bunuh diri karena gamang menatap kehidupan yang semakin buas dan kejam, tentu saja tidak ada relevansinya lagi kita berkumpul seperti sekarang ini.
Kita berkumpul di sini karena terdorong oleh keprihatinan atas semakin buruknya situasi yang dihadapi Rakyat kebanyakan. Bila anda seorang pialang saham atau emiten di bursa saham, mungkin kekayaan Anda terus bertambah. Tapi anda-anda mesti ingat, berapa orang yang mati kelaparan setiap nilai penjualan saham Anda meningkat, dan otomatis pula, tanpa setetespun cucuran keringat Anda bertambah kaya raya. Berapa juta penganggur yang dihasilkan oleh bergeraknya ekonomi duit makan duit (finance make it self finance) itu?
Tidak mengherankan pula, dengan tolok ukur orang disebut miskin bila punya penghasilan kurang dari 2 US dolar seperti yang ditetapkan Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia sudah mencapai hampir separo dari keseluruhan total jumlah penduduknya.
Bayangkan saudara-saudara, di tengah melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, dapat apa orang berpenghasilan kurang dari 2 US dolar yang setara dengan Rp.18.800 per hari? Harga beras, minyak goreng, terigu, telor, gula pasir dan seterusnya sudah melonjak, belum lagi ditambah harga kebutuhan energi seperti minyak tanah yang sudah mahal mesti antri pula. Kalau pun makan paling lauknya cabe, itu pun harga cabai seperti seminggu yang lalu bahkan mencapai Rp.20 ribu per Kg. Anehnya orang dengan penghasilan jauh dari pas-pasan itu belum dianggap miskin oleh pemerintah kita.
Rekan seperjuangan yang saya hormati,
Tentu saja kita di sini sangat prihatin dengan kehidupan Rakyat pada umumnya. Manakala para pemimpin bersikap everything its oke, kita dikejutkan oleh berbagai peristiwa mengerikan. Bagaimana tidak? Seorang ibu di Malang, Jawa Timur, tega membunuh ketiga orang anaknya sebelum dia sendiri bunuh diri. Rupanya ibu bernama Juanina Mercy itu stress menghadapi semakin sulitnya menggapai sumber penghidupan. Bahkan seorang ibu di Bandung, seorang sarjana lulusan ITB sebelumnya juga bertindak serupa. Gejala bunuh diri satu keluarga, dalam catatan saya selain di Bandung dan Malang, kedua kota bercuaca dingin yang mestinya memberikan kesejukan pada warganya, juga terjadi di Pekalongan, Tulungagung, dan Pekanbaru.
Ironisnya, pelaku bunuh diri satu keluarga bukan hanya dari kalangan miskin dan berpendidikan rendah, bahkan ada yang lulusan perguruan tinggi.
Gejala apa ini saudara-saudara?
Rupanya gangguan kejiwaan secara massal sudah mendekat dalam keseharian masyarakat kita. Penyebabnya boleh jadi akibat terus melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok sedangkan sumber kehidupan semakin tidak jelas. Jadi sangat masuk akal bila hasil survei Litbang Departemen Kesehatan RI menyebutkan 264 diantara 1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Bila angka itu benar, berarti lebih dari seperempat orang Indonesia terkena gangguan jiwa.
Bagaimana para petinggi Republik bisa mengklaim everything it’s okay, bila separo penduduknya miskin dan seperempat penduduknya mengidap sakit jiwa? Tidak aneh pula gejala depresi sosial seperti polisi menembak polisi atau bahkan polisi menembak komandannya sendiri seperti terjadi di Kendal, Jawa Tengah, akan terus berulang di tengah amburadulnya tata kelola pemerintahan seperti sekarang ini. Bukan tidak mustahil kita akan menghadapi tsunami sosial yang dampaknya jauh lebih mengerikan ketimbang tsunami di Aceh.
Rekan seperjuangan yang saya banggakan,
Bisa saja kita menutup kedua mata dan telinga, tapi dorongan hati kita ternyata lebih kuat untuk menolak kondisi yang sangat tidak kita harapkan. Saya dan sejumlah kawan-kawan yang kemudian dituduh terlibat gerakan malapetaka 15 Januari, menjelang peringatan Sumpah Pemuda sudah membuat Petisi 24 Oktober 1973 dengan tujuan mengingatkan Rakyat agar tidak mudah terbuai dengan mitos-mitos pembangunan ekonomi yang hanya menguntungkan sekelompok orang di sekitar kekuasaan.
Kini, Petisi sebagai tanda bahaya yang kami ucapkan 25 tahun lalu benar adanya. Kekayaan alam dikuras tandas, orang kaya semakin kaya, sedangkan si miskin yang tampak di layar-layar televisi semakin sering terlihat berdesakan antri minyak tanah akan semakin pula sulit keluar dari kubang kemiskinan.
Rekan-rekan seperjuangan, apa bila kita bersikap masa bodoh, toh begini saja masih bisa makan, niscaya Indonesia yang diramalkan sejumlah ilmuwan memiliki bakat sebagai negara gagal (state failure) akan menjadi kenyataan. Ciri-ciri negara gagal, sebagaimana diungkap Ikrar Nusa Bakti, ada pemerintah tapi tidak ada pemerintahan (ungovernable) sudah bisa kita deteksi dengan semakin tidak berdayanya pemerintah dalam menghadapi tekanan fundamentalisme pasar yang terbukti menyengsarakan Rakyat. Sebut saja, pemerintah meskipun sudah memiliki aturan main yang jelas namun dalam prakteknya tidak mampu membatasi tumbuhnya hypermarket, seperti Carefour yang tumbuh pesat dan membunuh ribuan pasar tradisional se-Indonesia yang selama ini menghidupi ratusan ribu pedagang eceran dengan modal pas-pasan.
Sedangkan penulis muda Imam Cahyono mengungkap, negara bangsa disebut gagal bila tidak bisa memenuhi kebutuhan Rakyatnya dengan baik.
Sekarang kita cermati kejadian apa yang paling menonjol di tanah air? Selain silih berganti terjadi bencana alam, kecelakaan berbagai moda transportasi, hampir setiap hari pula kita disuguhi kejadian memilukan seperti berulang-ulangnya antrian minyak tanah, premium dan solar di sejumlah kota Indonesia. Gejala itu sekaligus menegaskan sinyalemen ada pemerintah tapi tidak ada pemerintahan. Nah, kondisi karut marut itu, rekan seperjuangan, harus terus kita lawan sehingga praktek kekuasaan terus berada dalam rel cita-cita kebangsaan kita. Justru kalau kita bersikap everything its oke seperti para petinggi Republik, berarti kita terlibat dalam prosesi pemakaman negara bangsa ini, sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Tentu saja kita tidak ingin melangkah ke ambang negara gagal.
Rekan seperjuangan saya muliakan
Acap kali kita mendengar, bagaimana para petinggi Republik membusungkan dada atas tercapainya target pertumbuhan 6,3 persen. Ternyata pula penopang pertumbuhan bukan dipacu oleh meningkatnya produktivitas pabrik-pabrik atau derap industri-industri rumahan, melainkan oleh melonjaknya harga kelapa sawit, karet dan batubara di pasar internasional.
Kenapa harga-harga itu melonjak? Kebetulan pula China dan India sedang gencar membangun sehingga lebih banyak membutuhkan kelapa sawit, karet, batubara dan biji besi dari negara-negara tetangga, seperti Indonesia.
Mestinya pemerintah berterima-kasih kepada kedua negeri itu, bukan justru melakukan pembohongan publik bahwa meningkatnya pertumbuhan itu sebagai jerih payahnya memerintah.
Dengan naiknya harga komoditas minyak sawit mentah (CPO/cruddle palm oil) berapa orang yang kecipratan rejekinya, bandingkan pula dengan berapa orang pula yang mesti menanggung beban harga kenaikan minyak goreng? Siapa saja yang diuntungkan oleh meningkatnya eksplorasi batubara, sedangkan kapal pengangkutnya saja lebih dari 90% milik asing.
Jelas, pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah itu tidak ada artinya apa-apa bagi sebagian besar Rakyat yang setiap harinya dipaksa berkelahi dengan waktu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya. Itu pun kalau masih ada pekerjaan.
Sebab apa rekan-rekan seperjuangan? Kualitas pertumbuhan ekonomi kita dalam arti daya serapnya terhadap tenaga kerja begitu rendah. Kini setiap satu persen pertumbuhan diperkirakan hanya mampu menyerap 100 ribu penganggur. Bila setiap tahunnya ada 2,4 juta penganggur pendatang baru, dengan pertumbuhan 6,3 persen berarti hanya terserap 630 ribu penganggur, selebihnya dipaksa menganggur lagi hingga tahun kapan. Lambat laun jumlah penganggur akan terus membengkak dan akan semakin sulit diatasi oleh siapapun petinggi Republik yang berkuasa nanti.
Rekan seperjuangan, semua itu berakar dari lemahnya kepemimpinan. Dan terus terang saya ngeri dengan kenyataan itu. Oleh karena itu pada tanggal 15 Januari tahun lalu kita menyerukan cabut mandat atas pemerintahan yang sekarang ini berkuasa. Karena bila pemerintahan seperti sekarang diteruskan, siapapun yang nantinya akan memimpin Republik yang kita cintai ini akan sulit mengatasi persoalan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Bila angka kemiskinan yang diwariskan paling banyak 20 persen dari total jumlah penduduk di negeri ini mungkin masih bisa diatasi. Tapi bila total jumlah penduduk miskin mencapai lebih dari seperoh jumlah penduduk, niscaya predikasi dan ramalan-ramalan bahwa negara kita menjadi negara gagal akan mendekati kenyataan.
Rekan-rekan seperjuangan yang saya banggakan
Memang perlu kita akui, para petinggi Republik yang kini berkuasa, khususnya Presiden dan Wakilnya, dipilih langsung oleh Rakyat. Dan oleh karenanya, saat kita setahun lalu menyerukan cabut mandat, muncul keberatan dari berbagai kalangan, mereka sebut tidak konstitusional. Padahal yang kita tawarkan itu terobosan konstitusi, karena saya meyakini suatu hal, tidak ada patokan bahwa yang tidak tertulis itu tidak konstitusional.
Alangkah lebih tidak masuk akal, selama lima tahun kita dipaksa berdiam diri sedangkan Presiden yang kita pilih dalam lima tahun tidak melakukan apa-apa. Alangkah lebih mengerikan bagi Rakyat kebanyakan yang hidupnya bertambah susah karena dia hanya disodori harapan untuk menunggu Presiden pilihannya lima tahun ke depan, siapa tahu saja hidupnya lebih baik dari sekarang.
Bagaimana pula kalau lima tahun ke depan kejadiannya terus berulang seperti lima tahun yang lalu.
Benar, rekan seperjuangan, kita yang hadir di sini tidak akan pernah berlari dari demokrasi. Biar bagaimana hanya pemerintahan demokrasi yang memungkinkan terjadinya partisipasi, adanya pembatasan kekuasaan sehingga lebih mungkin dicegah adanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tapi demokrasi yang kita perjuangkan bukan sekedar prosesi demokrasi lima tahunan yang segenap perangkatnya sudah dibajak segelintir warlord yang terus melakukan patgulipat melindungi hak-hak istimewanya sebagai warga terhormat.
Demokrasi yang kita perjuangkan adalah bagaimana membangun partisipasi yang lebih luas dengan meruntuhkan oligarki dan feodalisme yang telah menduduki partai-partai politik sebagai instrumen pelanggeng kekuasaannya.
Dengan begitu, demokrasi yang kita perjuangkan adalah tempat persemaian yang subur bagi hadirnya calon-calon pemimpin yang lebih mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Bukan pemimpin-pemimpin gagal yang terus mewariskan kekuasaannya pada segenap kroni-kroninya, bahkan ada pula yang jatuh ke anak-anaknya. Memang, selama demokrasinya berjalan secara sehat, tidak ada salahnya seorang anak mengikuti jejak orang tuanya menjadi Presiden. Namun manakala perangkat-perangkat demokrasi, termasuk diantaranya partai-partai politik sudah dikuasai sekelompok pembajak yang tidak terikat lagi oleh tujuan demokrasi itu sendiri, maka sangat diragukan bila produk kekuasaan partai politik yang bersangkutan akan membawa kebaikan bagi Rakyat.
Rekan seperjuangan yang saya hormati.
Sekali lagi, kita harus percaya bahwa demokrasi akan membawa kemaslahatan bagi kita semua. Tapi acap kali saya merenung cemas. Bagaimana mungkin demokrasi yang hakiki bisa dicapai, bila prosedur demokrasinya sendiri sudah menyimpang dari tujuan demokrasi.
Tujuan demokrasi bagi saya adalah, pertama, menggerakan partisipasi yang luas kepada Rakyat untuk terlibat aktif dalam urusan bersama (publik), bukan saja berpartisipasi dalam memilih, tetapi juga berpartisipasi untuk dipilih menjadi calon pemimpin. Bagaimana mungkin prosedur demokrasi sudah membatasi partisipasi warga negara menjadi pemimpin melalui loket-loket partai politik yang jumlahnya terbatas, sedangkan fungsi kaderisasi calon pemimpin dalam tubuh partai-partai politik yang ada tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Tujuan demokrasi yang kedua bagi saya, adalah bagaimana memecahkan suatu persoalan bersama (publik), termasuk suksesi kepemimpinan, tanpa kekerasan. Beragam kepentingan itu dirembugkan, sejak rembug di tingkat kampung hingga ke level yang lebih tinggi. Bila rembugan itu gagal mencapai konsesus baru dilakukan pemungutan suara.
Nah di sini jelas, bahwa pemungutan suara hanya satu diantara prosedur demokrasi. Bukan sebagai tujuan demokrasi. Prosedur pemungutan ini dengan sendirinya gagal manakala misal dalam pemilihan langsung kepala daerah, calon yang kalah bersaing merebut suara sebanyak-banyaknya menggerakkan massanya untuk melakukan kekerasan.
Rekan seperjuangan yang saya kasihi,
Krisis kepemimpinan akan terus terjadi manakala demokrasi yang hakiki selalu terhadang oleh aturan perundang-undangan yang lebih menguntungkan orang itu lagi orang itu lagi. Setelah sukses membajak demokrasi, orang-orang itu, setiap menjelang prosesi pemilu tampil manis di hadapan Rakyat. Maka sejumlah tukang poles berdatangan. Terjadilah pereduksian aktifis politik sekedar menjadi aktifitas kehumasan. Seorang calon pemimpin di Republik ini dipoles citranya, bahkan ada kalanya melebihi kapasitas sesungguhnya dari sang pemimpin, sehingga menggelembungkan persepsi publik untuk memilihnya. Popularitas menjadi tolok ukur dalam kehumasan. Dan selanjutnya, karena meyakinkan pemilih tidak gampang, ada kalanya tidak cukup dengan sekedar menebar atribut kampanye hingga ke pelosok-pelosok pemukiman tanpa amplop, terjadilah politik biaya tinggi yang memungkinkan masuknya pemodal dalam hajatan pemilihan presiden atau pilkada. Tentu saja modal itu bukan gratisan.
Jelas kiranya, demokrasi yang kita anut bukan sekedar demokrasi prosedural yang dalam prakteknya sungguh artifisial, suka tidak suka memaksa setiap calon pemimpin berlomba-lomba menggelembungkan citra dirinya, berlomba-lomba menebar janji, melainkan demokrasi dengan tujuan perluasan partisipasi Rakyat yang sebenar-benarnya. Demokrasi yang kita perjuangkan secara substansial dipandu oleh platform dan tujuan, atau raison d’etre tujuan kita bernegara.
Sudah jelas, bahwa para pendiri bangsa (founding parents) telah menetapkan tujuan kita bernegara, meliputi perlindungan segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta menjaga perdamaian dunia atas dasar kemerdekaan dan keadilan.
Rekan seperjuangan yang saya kagumi,
Sudah semestinya siapapun pemimpin yang berkuasa di Republiki ini digerakkan oleh keempat platform yang sudah menjadi tujuan kebangsaan kita. Tapi yang kita rasakan belakangan ini sungguh jauh panggang dari api. Alih-alih melindungi segenap tumpah darah Indonesia yang terjadi justru penistaan martabat para buruh migran kita di luar negeri, terutama para pekerja perempuan rumah tangga yang dianiaya, diperkosa, dihinakan martabat kemanusiaannya, bahkan ada yang dibantai secara semena-mena.
Alih-alih memajukan kesejahteraan umum yang terjadi justru membludaknya angka kemiskinan dan pengangguran. Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa yang terjadi justru privatisasi pendidikan yang hanya membuka peluang bagi orang berduit mencerdaskan anaknya, sedang Rakyat kebanyakan sekolah di gedung reot terancam ambruk dengan tenaga pengajar yang seadanya. Dan alih-alih ikut menjaga perdamaian dunia yang terjadi justru larut dalam skenario negera adi-kuasa dan demi kepentingan nasional mereka.
Negara seperti inikah yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik kita?.
Tentu saja tidak saudara-saudara. Bila tujuan kenegaraan kita sesuai dengan cita-cita para pendiri Republik, tentu saja dengan kekayaan alam yang kita miliki, dengan hasil pertanian, tambang, hutan dan seterusnya yang sebelumnya kaya raya, tentu saja standar hidup kita sekarang ini jauh lebih makmur dari Malaysia dan Thailand. Alih-alih bersaing kesejahteraan dengan Malaysia dan Thailand, yang terjadi justru kita mulai tertinggal dengan Vietnam yang para pemimpinnya baru keluar dari semak-semak pertempuran
Rekan seperjuangan yang saya muliakan,
Boleh dan sah-sah saja kita berpendapat, bahwa buruknya situasi itu sebagai akumulasi persoalan yang diwariskan oleh pemimpin sebelumnya yang tidak mengabdikan kepentingan kekuasaannya bagi kemaslahatan orang banyak, melainkan bagi keuntungan diri sendiri, sanak keluarga dan kroni-kroninya. Namun sudah semestinya pula praktek kepemimpinan yang tidak membawa kemaslahatan bagi orang banyak itu diakhiri seiring dengan terpilihnya pemimpin yang dipilih langsung oleh Rakyat. Kenapa situasi yang buruk dan telah membelit Rakyat Indonesia dari pemimpin yang satu ke pemimpin itu tidak segera berakhir, bahkan situasinya bertambah buruk?
Bila pemimpin yang berkuasa benar-benar memiliki karakter kepemimpinan yang andal, tentu saja dia bukan cuma pandai membuat program-program gagah seperti revitalisasi pertanian dan perdesaan yang mendapat acungan jempol para pakar pertanian dan sekarang tidak jelas jejak kelanjutannya itu, melainkan juga mampu mengawal dan memastikan bahwa program yang sudah menjadi pengetahuan publik itu berjalan sesuai rencana. Pemimpin yang baik tidak pernah ragu-ragu mengambil keputusan tanpa harus berpikir perimbangan politik yang kira-kira mendukung atau menentang keputusannya.
Seorang pemimpin, selain tegas dan berani mengambil resiko, dia juga pandai memilih partner, dapat menggunakan kekuasaannya yang secara efektif mampu mengendalikan aparat pemerintahannya. Bukan jenis pemimpin yang saat terdesak mengeluh sudah merasa bekerja siang dan malam mencuci piring atas persoalan yang diwariskan oleh pemimpin sebelumnya, dan minta keadilan kepada pemerintahan sebelumnya yang hanya cuci tangan dan lupa cuci piring untuk tidak terus mengganggu kinerja pemerintahannya. Seorang pemimpin akan selalu ingat, di tangannya lah bersandar nasib jutaan Rakyat dengan segenap persoalan yang dihadapinya, dan tentu saja itu tidak bisa diselesaikan dengan politik kehumasan.
Ada diantara kita, kalau ditanya apa saja keberhasilan pemerintahan sekarang, mungkin ada yang menjawab pemberantasan korupsi. Namun faktanya, sesuai hasil evaluasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajahmada (Pukat UGM) upaya pembasmian korupsi yang dilakukan pemerintah sekarang hanya menyentuh koruptor kelas teri. Secara rinci PUKAT-UGM menguraikan, diantara 143 kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan, Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama tahun 2007, jumlah pelaku korupsi terbanyak adalah Bupati (47 kasus), Pejabat Pemda (29 kasus) dan anggota DPRD (19 kasus). Sedangkan dari nilai kerugian negara, 104 diantara 143 kasus nilai kerugiannya tercatat satu sampai Rp 10 miliar. Sedangkan perkara yang nilai kerugian negaranya di atas Rp 1 triliun hanya tercatat enam kasus. Artinya pula, pemberantasan korupsi hanya bagian dari politik kehumasan pemerintah yang sekarang ini berkuasa.
Rekan seperjuangan yang saya hormati
Seperti yang kita rasakan belakangan ini, bagaimana Presiden bicara A tapi apa yang dilakukan aparat birokrasinya bisa C dan bisa pula D. Sebut saja menjelang kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Di hadapan layar televisi Presiden menjamin kenaikan BBM tidak akan lebih dari 50 persen, namun faktanya harga BBM rata-rata naik di atas 100 persen dan Rakyat kebanyakan hingga kini merasakan getah dari keputusan itu. Kejadian itu cukup menjelaskan Presiden tidak bisa menjamin apapun yang diucapkannya di hadapan Rakyat akan dijalankan oleh aparat birokrasi dalam lingkup kekuasaannya.
Begitu juga saat pemerintah menghadapi lonjakan harga minyak goreng di pasaran, berbagai cara telah ditempuh, termasuk menaikkan pajak ekspor CPO, tapi upaya itu sia-sia karena harga minyak goreng di pasaran hingga kini tetap tinggi. Artinya, para petinggi Republik tidak memiliki pengaruh yang kuat dan dipatuhi di lingkungan pengusaha kelapa sawit, dan tunduk setunduk-tunduknya pada mekanisme pasar yang dikendalikan segelintir pengusaha meskipun terbukti menyengsarakan Rakyat. Terus apa gunanya pemerintah bila semua urusan diserahkan kepada mekanisme pasar? Bagaimana pula nasib separuh jumlah penduduk kita yang dengan rumus apa pun akan selalu kalah dalam sistem ekonomi pemerintahan kita yang cenderung free fight liberalism.
Kita ingat, bagaimana cara mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad dalam mengatasi krisis moneter di negerinya. Dengan tegas dia menolak liberalisasi pasar uang dan mengacuhkan rumusan IMF dalam menyehatkan perekonomian negerinya. Kendati acap kali dicibir banyak kalangan tidak ada demokrasi di era pemerintahannya, namun Mahathir secara tegas lebih mengedepankan kepentingan nasional di atas segala-galanya. Bukan justru tunduk kepada fundamentalisme pasar yang potensial membangkrutkan industri negara-negara dunia ketiga. Kini Malaysia, meskipun ada gejolak politik yang menuntut demokratisasi di negerinya, termasuk negara yang pertama-tama pulih dari krisis moneter. Karena di sana ada pemimpin.
Rekan seperjuangan yang saya cintai,
Pemimpin yang dipilih langsung oleh Rakyat mestinya memiliki legitimasi yang kuat untuk menjalankan kinerja kepemimpinannya. Tapi legitimasi itu acap kali diabaikan oleh berbagai hal. Pertama, terkait politik kehumasan, boleh jadi gelembung citra dirinya yang berhasil mendorong persepsi publik untuk memilihnya ternyata tidak sesuai dengan kapasitas dirinya sebagai seorang pemimpin. Dan kedua, berkait dengan politik biaya tinggi, boleh jadi sang pemimpin memiliki hutang budi kepada tangan-tangan tidak terlihat (invisible hand) yang berjasa membawanya ke puncak kekuasaan, sehingga sang pemimpin lebih tunduk kepada sekelompok orang ketimbang Rakyat yang memilihnya. Dari sana pula dimungkinkan terjadinya pengkhianatan legitimasi atau mandat yang diberikan oleh Rakyat, dan oleh karena itu mestinya sangat mungkin dong bagi kita-kita melakukan kampanye cabut mandat.
Apa lagi saudara-saudara, sumber-sumber kepemimpinan belakangan ini bukan diproses dari kaderisasi partai politik, melainkan lebih banyak dipungut dari kalangan saudagar dan atau kalangan birokrat, sipil maupun militer, yang masuk partai politik untuk mempertahankan statusnya sebagai elite, atau sebagai upaya merebut jabatan-jabatan publik yang lebih tinggi. Apa yang bisa diharapkan dari elite yang sepanjang hidupnya naik dan turun mobil mewah dan sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan penderitaan Rakyat. Apa yang bisa diharapkan dari seorang pemimpin yang segala ucapan dan tindakannya dikendalikan oleh praktisi-praktisi humas yang dibayar untuk mendongkrak citranya?
Rekan-rekan seperjuangan,
Saya seringkali mengungkapkan kepada para aktivis gerakan yang menemui saya, mestinya anda-anda yang menjadi pemimpin partai, karena anda-anda sejak usia muda telah melibatkan diri dan terbiasa memimpin organisasi yang memperjuangkan kepentingan orang banyak, bukan saudagar yang kuliah di Amerika atau para pensiunan birokrat atau tentara yang biasa tunduk pada Tupoksi dan tidak memiliki visi yang jelas. Tapi tampaknya partai politik sebagai perangkat demokrasi telah sekelompok orang yang hanya berkepentingan memperkaya diri sendiri dan kelompoknya sekaligus mempertahankannya dari kemungkinan datangnya elite politik yang bagi mereka, usil dan jahil.
Memang, ada diantara tokoh aktifis gerakan dalam partai politik yang arah dan tujuannya sudah dibajak itu. Dengan sendirinya pula tokoh-tokoh aktifis itu hanya dijadikan ornamen yang diharapkan membangkitkan citra partai. Fungsinya tidak lebih dari pagar ayu atau pagar bagus dalam hajatan temanten. Sebagai pagar ayu, maka dengan duduk anteng dan manis lebih disukai ketimbang mondar-mandir kesana kemari yang membuat kurang nyaman si tuan rumah. Padahal seperti di negara-negara demokrasi pada umumnya, partai politik adalah sumber kepemimpinan yang mengisi pos-pos jabatan publik. Tapi karena partai politik telah dibajak oleh persekutuan jahat kapitalis dan sekelompok orang yang merasa sebagai pemilik partai, tidak mengherankan pula bila partai politik lebih nyaman tidak melakukan kaderisasi, sehingga setiap berlangsung event suksesi sekelompok pembajak itu lebih suka menjual partainya sebagai kendaraan siapapun yang mampu membayar partainya untuk berkuasa.
Maka terus terang saja rekan-rekan perjuangan, sulit kita mengharapkan lahirnya pemimpin hakiki dari rahim partai politik kita sekarang ini.
Apa lagi sistem kepartaian kita dalam mengusung calon pemimpin yang mestinya berakibat kepada kebijakan, misal antara pemerintah pusat dan daerah acap kali tidak sinkron. Misal di pusat terjadi koalisi Partai Demokrat, PBB, Partai Golkar, PKS, PKB dan PPP, namun di Provinsi bisa saja Partai Demokrat berkoalisi dengan PDIP, dan di Kabupaten Golkar dengan PDIP, atau PDIP dengan PPP dan seterusnya. Sungguh sulit dicari logika akal sehatnya bila partai politik hanya sekedar dijadikan kendaraan bagi sang calon. Mestinya partai politik lebih sebagai penjamin rekam jejak kader-kadernya dalam event suksesi, tapi yang terjadi sekedar transaksi antara partai politik dan sang calon yang entah dari mana asal-usulnya. Keanehan-keanehan itu yang membuat partai-partai politik kehilangan fungsi dan jati dirinya sebagai instrumen demokrasi yang hakiki.
Rekan seperjuangan yang saya kagumi,
Idealnya memang, partai politik bukan sekedar alat mencapai kekuasaan, melainkan juga berfungsi sebagai kaderisasi sumber kepemimpinan melalui aktivitas partai yang bukan sekedar ikut terlibat dalam setiap event suksesi, melainkan juga menjadi artikulator kepentingan pemilihnya sekaligus melakukan pendidikan politik. Alih-alih menjadi artikulator kepentingan pemilih yang terjadi justru kantor-kantor partai, terutama di basis-basis paling bawah lebih banyak hanya plang nama. Sedangkan di tingkat yang lebih atas lebih disibukkan oleh urusan administratif dan rekomendasi calon-calon dalam Pilkada.
Bila partai politik sudah terjerumus dalam perangkap oligarkis, dan fungsinya sudah bergeser sekedar menjadi alat mencapai kekuasaan dan tidak ada lagi ghirah diantara kader-kadernya memperjuangkan kepentingan orang banyak, sudah semestinya pula dibuka ruang selebar-lebarnya bagi munculnya sumber-sumber kepemimpinan alternatif dari luar partai. Bukan seolah-olah dari partai tapi sesungguhnya yang maju menjadi calon pemimpin adalah orang-orang dari luar partai yang hanya menggunakan partai sekedar perahu. Dengan demikian ada persaingan sehat antara orang-orang yang menggunakan partai sebagai kendaraan politiknya dan orang-orang yang enggan menggunakan partai dalam ajang pertarungan memperebutkan pos-pos jabatan publik, termasuk presiden.
Dengan dibukanya ruang yang seluas-luasnya bagi munculnya sumber-sumber kepemimpinan, niscaya pilihan Rakyat tidak terbatas pada sosok-sosok yang terbukti pernah gagal membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Para aktivis gerakan yang terbiasa memimpin organisasi-organisasi yang membela kepentingan orang banyak, meskipun belum tentu menang, sebaiknya juga diberi peluang melalui persyaratan yang tidak terlalu memberatkan. Namun seperti yang perlu kita cermati belakangan ini, tampak sekali ada upaya dari partai-partai besar membatasi loket calon pemimpin dengan cara koalisi diantara sesamanya dan memperketat syarat-syarat pencalonan, sehingga dimungkinkan pada Pemilu 2009 nanti terjadi pertarungan antara dua calon presiden yang pernah gagal membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Namun rekan seperjuangan yang saya hormati,
Ada kritik saya terhadap organisasi-organisasi yang terbiasa memperjuangkan kepentingan orang banyak, seperti gerakan-gerakan Rakyat yang pernah tumbuh di sejumlah kota Indonesia dan mestinya pula menjadi modal dasar bagi konsolidasi demokrasi. Sayang sekali, acap kali mereka tidak padu dan mudah terbelah oleh perselisihan yang sepele, sehingga paling tidak untuk waktu yang lalu sulit diharapkan dari rahim gerakan-gerakan dilahirkan seorang Evo Morales seperti di Bolivia. Tapi saya percaya, dengan terus bergerak, bergerak dan bergerak, niscaya akan lahir seorang pemimpin yang mampu mengusir para pembajak demokrasi dan mampu membawa bangsa ke arah yang lebih baik.
Percayalah, bila lorong-lorong calon pemimpin sudah ditutup oleh saluran resmi, suatu saat Rakyat sendiri yang akan menghakimi pelaksanaan Pilkada atau Pilpres. Tingginya angka golput di sejumlah daerah dalam event pilkada, boleh jadi telah menunjukkan bahwa sebagian Rakyat sudah bosan dipimpin oleh orang itu orang itu lagi orang itu lagi, dan atau tokoh pendatang baru yang tidak jelas asal-usulnya. Apa lagi bila sosok-sosok yang dicalonkan saluran resmi pernah gagal memimpin Kabupatennya, Kotanya, Provinsinya, atau bahkan Republik ini.
Rekan seperjuangan yang saya banggakan
Akhirnya, tanpa harus kehilangan kepercayaan terhadap demokrasi, kita perlu meluruskan kembali bahwa tujuan kita bernegara bukan sekedar terlibat dalam event memilih pemimpin, tapi lebih dari itu adalah kemampuan memilih pemimpin yang mampu melindungi segenap tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi. Dia juga harus tegas dalam menjaga kepentingan nasionalnya dan tidak mudah tunduk desakan meliberalisasi industri dan perdagangan dengan ancaman kalau tidak begitu investor asing tidak akan masuk. Dengan begitu kita akan menjadi bangsa yang disegani dan ikut dipercaya menjaga perdamaian dunia.
Semua itu hanya bisa kita lakukan dengan terus-menerus membangun kekuatan yang berkemampuan mengusir para pembajak demokrasi. Mereka, para pembajak demokrasi, telah melakukan permufakatan jahat, dengan atas nama demokrasi membagi-bagi kekuasaan dan kekayaan negara yang diambang bangkrut itu diantara mereka saja. Tidak mengherankan pula bila demokrasi mereka bukan demokrasi hakiki. Bukan pula demokrasi yang memiliki korelasi langsung dengan kemakmuran Rakyat banyak.
Rekan-rekan seperjuangan yang saya hormati,
Kita harus selalu percaya, dengan terus bergerak dan bergerak, niscaya akan lahir seorang pemimpin yang bukan cuma pandai beretorika seperti penjual obat di pasar, melainkan mampu mewujudkannya dengan keputusan dan tindakan yang tegas dan jelas. Bukan pemimpin peragu, terlalu banyak pertimbangan, atau bahkan bagian dari pembajak demokrasi yang hanya berniat menggunakan demokrasi hanya untuk kepentingan diri sendiri dan sekelompok kroninya saja, melainkan pemimpin yang mampu membawa ke arah yang lebih baik.
Demikian, bilahittaufiq wal hidayah, wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Januari 2008
dr Hariman Siregar
---
note:
naskah orasi ini dibacakan pada peringatan ulang tahun InDEMO (Indonesian Democracy Monitor) ke 8, di Usmar Ismail Hall, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan - Selasa 15 Januari 2008 pukul 18.00wib.


COMMENTS