Oleh: Didi Irawadi Syamsuddin, S.H., LL.M.
DI negeri ini, gelar pahlawan bisa lahir bukan dari perjuangan, tapi dari ingatan yang selektif dan sejarah yang dipoles rapi.
Sebuah bangsa yang terlalu sering melupakan luka masa lalunya, akan mudah memuja pelaku sebagai penyelamat, dan menjadikan penindasan sebagai catatan kaki sejarah.
Bagaimana mungkin seorang penguasa yang membungkam rakyat, ditimbang layak sebagai pahlawan—hanya karena membangun jalan dan menanam padi? Padahal hanya menguntungkan segelintir orang saat itu (oligarki, konglomerat & kroninya)
Jika pembangunan yang tidak sepenuhnya sukses bagi mayoritas rakyat menjadi penebus dosa, maka setiap tiran tinggal menunggu giliran untuk disambut karangan bunga di Taman Makam Pahlawan.
Mereka yang dulu memerintah dengan bayonet dan bisikan intel, kini diromantisasi lewat dokumenter, museum, dan narasi nostalgia.
Seolah-olah stabilitas lebih berharga dari kebebasan, dan ketertiban lebih suci dari keadilan.
Lupa bahwa di balik senyum rezim,
ada darah, ada jerit, ada orang hilang yang tak pernah pulang.
Bila bangsa ini terus menambal sejarah dengan kebohongan, maka anak cucu hanya akan mewarisi ingatan yang retak—
tentang pahlawan yang dibangun dari propaganda, tentang dosa yang dibungkus sebagai jasa.
Dan kebenaran, seperti biasa, akan tersesat di antara prasasti dan pidato kenegaraan.
Sebab pahlawan sejati tak lahir dari rasa takut,
tak tumbuh dari pembungkaman, dan tak hidup dari puja-puji yang dibayar oleh kekuasaan.
Pahlawan sejati adalah mereka yang menanggung derita demi kebenaran,
bukan mereka yang membuat rakyat menderita atas nama stabilitas.
——————————


COMMENTS